“Apa buktinya? Apa!? Selama ini kamu hanya menghabiskan waktu
untuk sesuatu yang belum pasti bagi kamu. Seharusnya kamu sudah melangit dengan
berbagai prestasi yang gemilang, tetapi kamu justru melewatkannya. Kamu terlalu
sibuk dengan karya-karyamu yang tidak memberi manfaat sedikitpun!”
Hampir setahun sudah aku tidak mendapat kabar apapun dari sebuah
penerbit. Sudahlah, jangankan penerbit. Bahkan tulisanku belum ada satupun yang nongol di
media masa. Yang ada malah kesimpulan bahwa, tulisanku tak layak muat.
“Mau jadi apa kamu!?”
Lagi-lagi aku tidak bisa menjawab pertanyaan ini.
“Jadi penulis? Seperti Habiburrahman El Shirazi dan Andrea Hirata
yang sering kamu gembor-gemborkan keahliannya itu. Mereka hanya satu diatara
seribu Fikri. Satu diantara seribu.”
“Tetapi Fikri ingin menjadi satu di antara seribu Pak.”
“Kamu ini kok senangnya nggak berpijak pada realitas. Kamu adalah
mahasiswa terbaik Fakultas Kedokteran dari universitas ternama di negeri ini.
Status dan impian kamu sudah jelas. Tetapi kamu justru menurunkan predikat kamu
dengan sesuatu yang kamu sendiri tidak mempunyai bakat dibidang itu.”
“Bukan bakat Pak. Hanya perlu kerja keras.”
“Apa buktinya?”
Lagi-lagi aku terdiam dengan pertanyaan seperti ini.
“Disiplin ilmu kamu bukan disiplin bahasa Fikri. Seharusnya kamu
sadar itu.”
Aku menghela nafas. Awalnya memang sederhana sekali. Waktu itu,
Andi, temanku memberikan hadiah novel pada ulang tahunku yang ke-18. Aku memang
tidak tertarik atau lebih tepatnya tidak suka dengan buku sejenis novel
atau karya fiksi lainnya. Aku lebih suka buku-buku non fiksi yang langsung
memberikan fakta. Tetapi melihat novel itu terus terpajang pada rak bukuku
benar-benar membuatku penasaran. Aku iseng membacanya dan, masya Allah! Aku
tiada bisa menahan air mataku. Aku tersentuh. Novel itu membuatku sadar akan
segalanya, hingga sebuah ghiroh terbetik dalam jiwaku. Aku
pasti bisa membuat karya semacam itu. Pasti bisa.
Tidak tanggung-tanggung. Aku segera memborong buku-buku bagaimana
cara mengarang, membeli berbagai novel dengan berbagai genre, dan
bergabung dengan komunitas penulis ternama. Aku benar-benar tersemangati. Aku
berlatih dan berlatih hingga sebuah ide menuntunku untuk membuat novel. Memang
gila mengingat belum ada satupun karyaku di media masa. Tetapi aku yakin,
kelak, novel itu akan menginspirasi jutaan manusia.
“Fikri menemukan kedamaian di saat menulis Pak. Kedamaian utuk
saling berbagi. Kedamaian untuk saling mengungkapkan rasa. Kedamaian untuk
memperkaya jiwa. Kedamaian untuk…”
“Cukup!” Bapak menutup laptopnya, memasukkan ke dalam tas kemudian
merapikan dasinya. Mungkin Bapak sudah cukup telat karena perdebatan ini.
“Kedamaianmu tidak menghasilkan apa-apa Fikri. Sadarlah. Mungkin
memang sebaiknya Bapak menyingkirkan segala yang berkaitan dengan pikiran
kolotmu itu agar kamu tidak terhipnotis seperti ini.”
“Fikri nggak terhipnotis Pak!”
“Mengarang itu belajar berbohong Fikri. Kamu mau jadi pembohong.
Penipu!”
Aku tertunduk lemas, terdiam dan terpaku. Sakit, sangat sakit
memang. Tidak terasa, butiran bening sebesar jagung akhirnya mengalir diujung
mata.
* * *
“Mengarang itu bukan pembohong Fikri. Memang itu karya Fiksi dan
semua orang tahu itu tidak nyata, rekaan atau buataan. Dan mereka tidak merasa
dibohongi. Bahkan justru dapat meningkatkan kejiwaan mereka. Kamu tahu? Kita
orang islam. Al-Qur’an diturunkan dengan keindahan sastra yang maha dahsyat
yang tidak ada satu makhluk pun dapat menandinginya. Jika dibacakan,
keindahannya akan melekat pada orang yang beriman hingga imannya meningkat
beripat-lipat. Sedangkan kita menulis bertujuan untuk meningkatkan kecintaan
manusia terhadap Al-Qur’an dan mengagungkan Sang Kholiq betapa besar
keagungannya.” Mas Farhan, mantan ketua FLP Djogjakarta itu memang selalu bisa
memompa kembali semangatku.
“Tapi bagaimana saya menyadarkan Bapak Mas. Saya hanya ingin
mendapat pengakuan dan dukungan. Itu saja.”
“Mungkin memang sebaiknya kamu jangan melawan. Tidak baik melawan
orang tua. Dosa besar hukumnya. Seharusnya kamu dapat menyeimbangkan tugas
pokok kamu sebagai mahasiswa dan menulis. Turutilah keinginan orang tuamu
selama itu baik bagi kamu. Kesuksesanmu ada pada keridhoan orang tuamu. Insya
Allah, sejalan dengan waktu Allah akan memberikan jalannya.”
Aku mengangguk.
“Terkadang saya putus asa. Tulisan-tulisan saya bahkan novel saya
belum juga direspon. Apa memang saya nggak bakat ya Mas?”
“Untuk novel kamu, sebaiknya kamu ambil, perbaiki, dan tawarkan ke
penerbit lain. Aku salut dengan semangat kamu. Sudah berapa lama kamu suka
nulis Fik?”
“Sudah tiga tahun Mas. Kira-kira sudah seratus lima puluhan cerpen
yang saya buat dan belum ada satupun yang dimuat.”
“Subhanallah! Belum ada yang dimuat?”
“Belum Mas.”
“Memang ada yang harus dibayar untuk kesuksesan yang besar Fikri.
Karim asy-Syadzili, dalam bukunya Al Afkar Ash Shagiirah Lil Hayat Al
Kabiirah menulis, nasib atau keberuntungan jarang sekali
mendatangi orang-orang yang malas dan miskin keahlian. Akan tetapi, ia
akan menghampiri orang yang giat bekerja dan orang yang tidak mengenal lelah.”
Mas Farhan tersenyum. Aku tersanjung.
“Oya, bulan ini ada lomba nulis cerpen di Annida. Ikutlah. Semoga
bisa membuktikan kamu ada. Kamu bisa.”
“Amin. Semoga
Mas.”
* * *
Empat bulan sudah sejak aku mengikuti saran Mas Farhan. Aku
membuat cerpen itu sungguh-sungguh. Berkali-kali Bapak, Ibu, adik, si Mbah, Pak
De, dan Bude menegurku melihat aktifitasku yang menurut mereka tidak wajar.
Akhirnya aku mengalah. Aku mengerjakannya sembunyi-sembunyi yaitu pada malam
hari. Tetapi apa nyana, paginya aku sering terlambat kuliah dan memancing
kemarahan Bapak. Tetapi alhamdulillah, akhirnya aku dapat
mengirimkannya sebelum batas waktu yang ditentukan.
Hari ini adalah hari yang sangat menegangkan bagiku. Aku akan
melihat pengumuman lombanya. Maka setelah jam kuliah selesai, aku segera
mencari tempat yang nyaman. Ku buka laptop dan ku masukan modemnya. Sambil
menunggu, tiba-tiba Andre dan Rudi menghampiriku.
“Aku sudah melihat pengumuman lombanya Fikri. Kamu ini mengejar
sesuatu yang tidak dapat kamu kejar. Bahkan Allah sudah memperlihatkan bukti
yang nyata berkali-kali. Tetapi kamu masih tetap saja bersikukuh.”
Dengan gerakan slow motion aku mengklik pengumuman
itu sambil berusaha membuktikan apa yang dikatakan Andre itu salah. Tapi
sayang, aku langsung tertunduk lemas. Ternyata benar.
“Iya Fik. Kamu ini kenapa tho? Sudah jelas-jelas kamu akan menjadi
dokter hebat dari seorang mahasiswa cerdas yang nilainya selalu
mempesona. E malah mencari sesuatu yang abstrak yang sekarang justru menurunkan
prestasi kamu. Sudah jatuh, ketimpa tangga lagi.” Timpal Rudi.
Tidak! Sekali lagi tidak. Aku tidak boleh kalah. Allah tidak tuli.
Allah pasti mendengar segala keluh kesahku. Atau mungkin sebenarnya Allah telah
mengabulkan segala pintaku, tetapi tertahan karena Allah ingin melihat hambanya
bersusah payah dengan uraian air mata do’a. Kalau saja Allah memberikannya
sekarang, bisa jadi aku tidak akan berdo’a untuk yang kedua kalinya. Aku merasa
cukup dengan usahaku, dan mungkin hanya berakhir dengan kalimat syukur.
Tetapi tidak bagi Bapak. Ia malah semakin memojokkanku.
“Piye? Puas? Apa yang kamu dapat? Menang atau kalah?”
Aku tidak menjawab.
“Jawab Fikri…” Ulang Bapak mempertegas suaranya.
“Ka kalah Pak.”
Bapak tersenyum.
“Apa yang menurut kamu baik bisa jadi buruk bagi Allah. Dan apa
yang menurut Allah baik bagimu, bisa jadi buruk menurutmu. Sudahlah, sebentar
lagi kamu jadi sarjana. Bapak yakin kamu dapat mengejar materi-materi yang
tertinggal. Kamu cukup cerdas. Bapak mau menyekolahkan kamu ke Amerika setelah
kamu lulus. Kamu harus bersiap-siap ya!”
Aku kembali terpaku. Apa memang ini jalan takdirku?
* * *
Besoknya, sepulang kuliah aku dibuat terkejut. Surat kebahagiaan yang
ku pegang tiba-tiba terlepas. Dadaku seperti dihimpit. Jantungku seperti
tiba-tiba terlepas. Buku-buku, novel-novel, berkas-berkas, dan berbagai coretan
ideku tiba-tiba menghilang dari pandanganku. Aku terpana oleh suasana baru
kamarku. Reflek aku segera menghidupkan komputer dan aku tak kuasa menahan
emosiku. Tetapi aku buru-buru menghela nafas, berusaha menjernihkan pikiran.
“Bapak? Bapak tidak mungkin kan itu..” Aku berusaha bertanya
selugu mungkin.
“Sebaiknya bapak menyingkirkan semuanya Fikri.”
Aku kembali ke kamar mengambil surat yang terjatuh tadi. Pagi
tadi, beberapa menit setelah Bapak pergi, tukang pos datang memberikan surat
yang aku sempat tidak percaya dengannya. Hatiku mencelos hingga langit ketujuh.
Waktu itu, setelah mendapat saran dari Mas Farhan, aku segera memperbaiki
novelku dan mengirimkannya ke penerbit lain. Dan sekarang semuanya jadi
kenyataan. Novelku diterbitkan.
Seharusnya Bapak terkejut atau apa setelah membaca surat kontrak
kerjasama itu, tetapi malah justru tidak ada ekspresi.
“Novel kamu tidak akan dapat memenuhi kehidupan kamu Fikri.”
Tapi Bapak tidak harus menyingkirkan buku-buku Fikri kan?”
“Justru itu akan mengganggu belajarmu.”
“Sampai harus men-delete dokumen-dokumen Fikri
dikomputer.”
“Iya.”
“Fikri sudah berhasil menerbitkan karya Fikri. Tetapi kenapa Bapak
tidak mendukung Fikri? Malah justru dengan menulis Fikri akan bahnyak membaca.”
“Kamu tidak akan fokus.”
“Malah justru Fikri akan fokus Pak. Fikri akan lebih mencintai
ilmu. Fikri akan lebih giat belajar. Fikri akan…”
“Cukup Fikri! Cukup. Bapak lihat kamu sudah hampir gila dengan
tingkah lakumu. Jarang tidur, jarang makan, terlambat kuliah, di depan komputer
terus, tanpa henti, tanpa lelah. Mau diwaba kemana hidup kamu kalu hanya dengan
novelmu yang mungkin tidak akan berbuat banyak untukmu!”
Bapak mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Sekarang ganti nomor kamu.”
“Nomor hp Pak!?”
“Iya.”
Aku menghela nafas. Ada perih dalam jiwa. Berat, sangat berat.
Memang tidak mudah tiga tahun perjuangan kerasku hanya berakhir disini.
Berakhir dengan amarah orang tua. Tak terasa air mataku meleleh juga. Dalam
hati aku beristighfar berkali-kali. Aku berusaha melapangkan hati
selapang-lapangnya dan berdoa semoga Allah memberi petunjuk kepadaku, kepada
Bapak, dan seluruh keluargaku. Aku serahkan segalanya padamu ya Allah, Tuhan
yang maha pengasih lagi maha penyayang.
* * *
Mungkin memang benar apa kata Bapak. Mungkin memang benar apa kata
Andre dan teman-temanku. Mungkin memang benar menulis bukanlah jalan takdirku.
Sejak novelku diterbitkan dan aku diwisuda sebagai mahasiswa terbaik Fakultas
Kedokteran ini, aku benar-benar menutup duniaku. Aku menghapus segala memori
yang berkaitan dengan menulis. Aku menghapus diri dari dunia bahwa seorang
penulis bernama Fikri pernah ada. Biarlah novel perdanaku menjadi tulisan
terakhirku.
Hari ini adalah hari kebahagiaan keluarga. Menit-menit dimana aku
telah menjadi seorang sarjana. Seharusnya aku bangga lulus sebagai mahasiswa
terbaik, akan sekolah diluar negeri pula. Tetapi entah kenapa, ada yang berat
dihati. Sudahlah, paling tidak aku telah menyenangkan ke dua orang tuaku. Aku
telah membuat ke dua orang tuaku ridha kepadaku. Bukankah itu semua cukup untuk
bekal kesuksesanku?
Aku dielu-elukan. Semua keluargaku berkumpul disini.
Anak Ibu pintar!” Ibu tersenyum kemudian memelukku. “Anakku jadi
dokter.”
“Hmm, Dek Nila nggak boleh kalah nih! Dek Nila harus melebihi Kak
Fikri!” Adikku yang masih SMA itu tertawa begitu manis.
“Mbah bangga sama kamu Nak. Kamu hebat!”
“Iya Fik. Kamu hebat, pintar, terkenal lagi.” Pak De dan Bu De
ikut berkomentar.
Aku hanya tersenyum. Setelah lulus sebagai mahasiswa terbaik,
namaku memang langsung melejit.
“Kamu adalah kebanggaan Bapak, Fikri. Kebanggaan semua. Belajarlah
sungguh-sungguh dinegeri orang nanti. Serap ilmunya dan beri manfaat kepada
semua orang.” Bapak melepas pelukannya menatapku bangga. “Eh iya! Rafi,
hadiahnya mana? Ayo cepat, berikan. Kasihan Mas Fikri sudah nunggu dari dulu.”
Rafi adalah adikku yang baru lulus SMP.
Ini Mas. Hadiah special dari kita. Super special untuk
Mas Fikri!”
Awalnya memang tidak ada ekspresi, tetapi setelah dipaksa membuka
kadonya, subhanallah! Aku tidak percaya. Bukankah ini…
“Iya Mas. Mas Fikri hebat! Baru satu tahun sudah cetakan ke lima
belas. Itu Mas, lihat. Best seller lagi. Mau di filmin lho
Mas. Ini ada tulisannya.”
Aku benar-benar merasa aneh. Ini pasti sandiwara belaka. Aku yakin
itu. Mana mungkin tulisanku yang tidak pernah dimuat di media masa, bahkan
hanya baru menerbitkan satu novel langsung mendapatkan keistimewaan ini. Tidak
mungkin best seller. Lucu, benar-benar lucu. Ini pasti
sandiwara. Aku yakin itu. Tetapi…
“Maafkan Bapak Fikri. Novelmu sangat menginspirasi bahkan sangat
membangun jiwa masyarakat Indonesia. Awalnya Bapak memang tidak percaya, tetapi
penerbit terus mendesak Bapak. Akhirnya Bapak luluh. Namun Bapak tidak ingin
kabar ini mengganggu belajarmu, dan karena Bapak yang memegang komunikasi,
Bapak mem-block penerbit bahkan mendia masa untuk mewawancarai
kamu. Sekali lagi Bapak minta maaf ya. Bapak tidak pernah mendukung usaha kamu
untuk menulis.” Bapak diam sejenak kemudian memelukku. “Sebenarnya Bapak tidak
suka kamu jadi penulis. Bapak ingin kamu jadi dokter. Itu saja. Tetapi mungkin
sekarang Allah berkehendak lain ya.”
Aku tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Aku benar-benar dibuat
melayang. Hanya air mata yang dapat mewakili segala perasaanku.
“Pak. Sekarang Fikri sudah diwisuda. Lihat Pak, Fikri jadi dokter.
Fikri akan tetap jadi dokter. Bahkan bukan hanya sekedar dokter. Fikri akan
benar-benar jadi dokter kehidupan.”
Bapak melepas pelukannya. Aku tersenyum. Bapak pun tersenyum…
* * *
Pernah di muat di Annida Online
0 komentar:
Post a Comment